Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Segala puji hanya bagi Allah, kami
memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung
kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan
kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang
dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah
yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu
bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi
wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan
janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.[Ali ‘Imran: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ
الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada
Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan
(Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya
Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertakwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan
(peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasimu.” [An-Nisaa': 1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ
فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Wahai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar,
niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu.
Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia menang
dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan
adalah Kitabullah (Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk
perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang
diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat,
dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Amma ba’du:
Kepada saudara-saudaraku seiman dan se’aqidah…
Selayaknyalah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat yag Allah karuniakan kepada kita yang semua itu wajib untuk kita syukuri. Nikmat yang Allah berikan kepada kita sangatlah banyaki, tidak dapat dan tidak akan dapat kita hitung. Maka kewajiban seorang Muslim dan Muslimah adalah mensyukuri nikmat-nikmat yang Allah karuniakan kepada kita. Di antaranya adalah nikmat Islam, nikmat iman, nikmat sehat, nikmat rizki, dan lainnya yang Allah berikan kepada kita.
Kepada saudara-saudaraku seiman dan se’aqidah…
Selayaknyalah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat yag Allah karuniakan kepada kita yang semua itu wajib untuk kita syukuri. Nikmat yang Allah berikan kepada kita sangatlah banyaki, tidak dapat dan tidak akan dapat kita hitung. Maka kewajiban seorang Muslim dan Muslimah adalah mensyukuri nikmat-nikmat yang Allah karuniakan kepada kita. Di antaranya adalah nikmat Islam, nikmat iman, nikmat sehat, nikmat rizki, dan lainnya yang Allah berikan kepada kita.
Mensyukuri nikmat-nikmat Allah adalah wajib hukumnya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Seandainya kamu menghitung nikmat-nikmat
Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya
manusia sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrahim :
34]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan
bahwa manusia sangat zhalim dan sangat kufur karena mereka tidak
mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.
Di antara nikmat yang Allah berikan
kepada kita adalah nikmat Islam, iman, rizki, harta, umur, waktu luang,
dan kesehatan untuk beribadah kepada Allah dengan benar dan untuk
menuntut ilmu syar’i.
Manusia diberikan dua kenikmatan, namun
banyak di antara mereka yang tertipu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.
“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”[1]
Banyak di antara manusia yang tidak
mengguna-kan waktu sehat dan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia
tidak gunakan untuk belajar tentang Islam, tidak ia gunakan untuk
menimba ilmu syar’i. Padahal dengan menghadiri majelis taklim yang
mengajarkan Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat, akan
bertambah ilmu, keimanan, dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Juga dapat menambah amal kebaikannya.
Semoga melalui majelis taklim yang kita
kaji dari kitab-kitab para ulama Salaf, Allah memberikan hidayah kepada
kita di atas Islam, ditetapkan hati dalam beriman, istiqamah di atas
Sunnah, serta diberikan hidayah taufik oleh Allah untuk dapat
melaksanakan syari’at Islam secara kaffah (menyeluruh) dan kontinyu
hingga kita diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan
mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah. Semoga Allah senantiasa
memudahkan kita untuk selalu menuntut ilmu syar’i, diberikan kenikmatan
atasnya, dan diberikan pemahaman yang benar tentang Islam dan Sunnah
menurut pemahaman Salafush Shalih.
Seorang Muslim tidak akan bisa
melaksanakan agamanya dengan benar, kecuali dengan belajar Islam yang
benar berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush
Shalih. Agama Islam adalah agama ilmu dan amal karena Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa ilmu dan amal shalih.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan
membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua
agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]
Yang dimaksud dengan al-hudaa (petunjuk)
dalam ayat ini adalah ilmu yang bermanfaat. Dan yang dimaksud dengan
diinul haqq (agama yang benar) adalah amal shalih. Allah Ta’ala mengutus
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran
dari kebatilan, menjelaskan Nama-Nama Allah, sifat-sifat-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya,
serta memerintahkan untuk melakukan segala apa yang bermanfaat bagi
hati, ruh, dan jasad.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menyuruh ummat-nya agar mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah
Ta’ala, mencintai-Nya, berakhlak yang mulia, beradab dengan adab yang
baik dan melakukan amal shalih. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melarang ummatnya dari perbuatan syirik, amal dan akhlak yang buruk,
yang berbahaya bagi hati, badan, dan kehidupan dunia dan akhiratnya. [2]
Cara untuk mendapat hidayah dan
mensyukuri nikmat Allah adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut
ilmu adalah jalan yang lurus untuk dapat membedakan antara yang haq dan
yang bathil, Tauhid dan syirik, Sunnah dan bid’ah, yang ma’ruf dan yang
munkar, dan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan. Menuntut ilmu
akan menambah hidayah serta membawa kepada kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Seorang Muslim tidaklah cukup hanya
dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan
mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan
konsekuensi dari Islam. Karena itulah menuntut ilmu merupakan jalan
menuju kebahagiaan yang abadi.
1. Menuntut Ilmu Syar’i Wajib Bagi Setiap Muslim Dan Muslimah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”[3]
Imam al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua:
Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut
ilmu tentang shalat, zakat, dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam
riwayat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.
Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti
menuntut ilmu tentang pembagian berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum
hadd (qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang
yang bersengketa, dan semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang
dapat mempelajarinya dan apabila diwajibkan bagi setiap orang tidak akan
mungkin semua orang bisa melakukannya, atau bahkan mungkin dapat
menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, hanya beberapa orang tertentu
sajalah yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan
hikmah-Nya.
Ketahuilah, menuntut ilmu adalah suatu
kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak
sebanding dengan amal apa pun.[4]
2. Menuntut Ilmu Syar’i Memudahkan Jalan Menuju Surga
Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ
الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ
عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا
اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ
وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ،
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ
اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَـمْ يُسْرِعْ
بِهِ نَسَبُهُ.
“Barangsiapa yang melapangkan satu
kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu
kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang
yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allah memudahkan atasnya di
dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah
menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba
selama hamba tersebut senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa yang
meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya
jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah
Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara
mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi
mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di
tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat
amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” [5]
Di dalam hadits ini terdapat janji Allah
‘Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka
menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju
Surga.
“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna:
Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.
Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.
Kedua : Menempuh jalan (cara) yang
mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar
(sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab (para ulama),
menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari). Dan
cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu
syar’i.
“Allah akan memudahkan jalannya menuju
Surga” mempunyai dua makna. Pertama, Allah akan memudah-kan memasuki
Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah
Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan
mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan
ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari
berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam.•
Juga dalam sebuah hadits panjang yang berkaitan tentang ilmu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ
عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ وَإِنَّ
الْـمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ
وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِـمِ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ
حَتَّى الْـحِيْتَانُ فِى الْـمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِـمِ عَلَى الْعَابِدِ
كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ. إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ
وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ لَـمْ يَرِثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا
وَإِنَّمَا وَرَثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.
“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu,
maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan
meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan
apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan
kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di
bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim
atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang.
Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para
Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan
hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia
telah mendapatkan bagian yang paling banyak.”[6]
Jika kita melihat para Shahabat
radhiyallaahu anhum ajma’in, mereka bersungguh-sungguh dalam menuntut
ilmu syar’i. Bahkan para Shahabat wanita juga bersemangat menuntut ilmu.
Mereka berkumpul di suatu tempat, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mendatangi mereka untuk menjelaskan tentang Al-Qur-an, menelaskan
pula tentang Sunnah-Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah
Ta’ala juga memerintahkan kepada wanita untuk belajar Al-Qur-an dan
As-Sunnah di rumah mereka.
Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ
تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ
الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ
لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang
Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu dengan
sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari
ayat-ayat Allah dan al-Hikmah (Sunnah Nabimu). Sungguh, Allah
Mahalembut, Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab: 33-34]
Laki-laki dan wanita diwajibkan menuntut
ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah karena
dengan ilmu yang dipelajari, ia akan dapat mengerjakan amal-amal shalih,
yang dengan itu akan mengantarkan mereka ke Surga.
Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup
seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak,
karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib
mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya,
baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan
mu’amalah dengan makhluk.
3. Majelis-Majelis Ilmu adalah Taman-Taman Surga
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْـجَنَّةِ
فَارْتَعُوْا، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا رِيَاضُ الْـجَنَّةِ؟
قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ.
“Apabila kalian berjalan melewati
taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat bertanya,
“Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau
menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” [7]
‘Atha’ bin Abi Rabah (wafat th. 114 H)
rahimahullaah berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah
majelis-majelis halal dan haram, bagaimana harus membeli, menjual,
berpuasa, mengerjakan shalat, menikah, cerai, melakukan haji, dan yang
sepertinya.” [8]
Ketahuilah bahwa majelis dzikir yang
dimaksud adalah majelis ilmu, majelis yang di dalamnya diajarkan tentang
tauhid, ‘aqidah yang benar menurut pemahaman Salafush Shalih, ibadah
yang sesuai Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, muamalah, dan
lainnya.
Buku yang ada di hadapan pembaca
merupakan buku “Panduan Menuntut Ilmu”. Di antara yang penulis jelaskan
di dalamnya adalah keutamaan menuntut ilmu, kiat-kiat dalam meraih ilmu
syar’i, penghalang-penghalang dalam memperoleh ilmu, adab-adab dalam
menuntut ilmu, hal-hal yang harus dijauhkan oleh para penuntut ilmu,
perjalanan ulama dalam menuntut ilmu, dan yang lainnya. Penulis jelaskan
masalah menuntut ilmu karena masalah ini sangatlah penting. Sebab,
seseorang dapat memperoleh petunjuk, dapat memahami dan mengamalkan
Islam dengan benar apabila ia belajar dari guru, kitab, dan cara yang
benar. Sebaliknya, jika seseorang tidak mau belajar, atau ia belajar
dari guru yang tidak mengikuti Sunnah, atau melalui cara belajar dan
kitab yang dibacakan tidak benar, maka ia akan menyimpang dari jalan
yang benar.
Para ulama terdahulu telah menulis
kitab-kitab panduan dalam menuntut ilmu, seperti Imam Ibnu ‘Abdil Barr
dengan kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Imam Ibnu Jama’ah
dengan kitabnya Tadzkiratus Samii’, begitu pula al-Khatib al-Baghdadi
yang telah menulis banyak sekali kitab tentang berbagai macam disiplin
ilmu, bahkan pada setiap disiplin ilmu hadits beliau tulis dalam kitab
tersendiri. Juga ulama selainnya seperti Imam Ibnul Jauzi, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (dalam Majmuu’ Fataawaa-nya dan kitab-kitab
lainnya), Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (dalam kitabnya Miftaah Daaris
Sa’aadah dan kitab-kitab lainnya), dan masih banyak lagi para ulama
lainnya hingga zaman sekarang ini, seperti Syaikh bin Baaz, Syaikh
al-Albani, dan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahumullaah.
Dalam buku ini, penulis berusaha
menyusunnya dari berbagai kitab para ulama terdahulu hingga sekarang
dengan harapan buku ini menjadi panduan agar memudahkan kaum Muslimin
untuk menuntut ilmu, memberikan semangat dalam menuntut ilmu, beradab
dan berakhlak serta berperangai mulia yang seharusnya dimiliki oleh
setiap penuntut ilmu. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi penulis dan
para pembaca sekalian, serta bagi kaum Muslimin. Mudah-mudahan amal ini
diterima oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan menjadi timbangan amal
kebaikan penulis pada hari Kiamat. Dan mudah-mudahan dengan kita
menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya, Allah ‘Azza wa Jalla akan
memudahkan jalan kita untuk memasuki Surga-Nya. Aamiin.
- Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para Shahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan kebaikan hingga hari Kiamat.
[Disalin dari Muqaddimah buku Menuntut
Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa
Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
________
Footnotes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim (IV/306), dan selainnya dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat kitab Taisiir Karimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H) rahimahullaah, cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum
[4]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas. Tentang pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
• Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/297) dan Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 316-317).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510), Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Lihat takhrij lengkapnya dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 2562).
[8]. Disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (no. 40). Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 132).
________
Footnotes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim (IV/306), dan selainnya dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat kitab Taisiir Karimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H) rahimahullaah, cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum
[4]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas. Tentang pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
• Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/297) dan Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 316-317).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510), Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Lihat takhrij lengkapnya dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 2562).
[8]. Disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (no. 40). Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 132).
http://almanhaj.or.id/content/2307/slash/0 via Fb Al-Akh Ahmad Fajar Qomaruddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar