Rabu, 28 November 2012

“ KETIKA HIDAYAH MENYAPAKU “ ( Kisah Seorang Muallaf Hindu )

“ KETIKA HIDAYAH MENYAPAKU “ Ini adalah kisah perjalanan hidupku yang hingga saat ini tidak bisa kulupakan. Semoga kisahku ini dapat menjadi pelajaran berarti bagi yang membacanya. Seingatku pada saat itu aku masih belia berumur 7 tahun, Aku terlahir dari keluarga Hindu, yang mana mau tidak mau akupun beragama Hindu, di usiaku yg masih anak-anak aku belum paham apa itu agama dan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Sebut saja Kadek namaku...! Aku tinggal di salah satu perkampungan Hindu yang yang berada (sebut saja Kota S namanya), tepatnya di rumah Pamanku. Aku tinggal di rumah pamanku sejak kecil karena kehidupan ekonomi ayah dan ibuku yang tidak memungkinkan. Dalam kasta Hindu aku tergolong kasta yang sangat rendah, Karena kehidupan keluargaku sebagai seorang petani. Sang Hyang Widi adalah tuhanku yang harus kusembah, berbagai macam dewapun sering kudengar dan juga diharuskan untuk disembah. Ada banyak dewa yang aku yakini pada saat itu, masing-masing dewa punya tugas masing-masing dalm kekuasaannya. Sesaji-sesajipun senantiasa harus kusiapkan bersama Paman dan bibiku untuk persembahan kepada Dewa-dewa tersebut. Sejak kecil yaitu ketika duduk di bangku SD, seringkali aku melihat teman-temanku yang beragama Islam datang ke mushalla untuk melakukan aktivitas ibadah mereka, dari mengaji, sembahyang, dan lain-lain. Terbetik dalam hatiku seraya bertanya dalam hati apa yang mereka lakukan di sana, duduk bersila sambil mengucapkan kata-kata yang aku tidak mengetahuinya, seperti istilah-istilah Arab nampaknya. Dan juga kadang aku juga aneh melihat mereka melakukan gerakan-gerakan yang berulang-ulang degan serenta. Seringkali aku datang ke tempat dimana teman-temanku yang beragama Islam mengaji, tentunya tanpa sepengetahuan Paman dan bibiku. Hingga pada suatu ketika di saat aku bermain-main sambil melihat teman-temanku yang beragama Islam sedang mengaji dan belajar sembahyang, pamanku datang untuk menjemputku ke tempat tersebut. Sesampainya di rumah tanpa berfikir panjang aku dicaci, dimaki, dihardik, bahkan dipukul karena aku bergaul dengan teman yang beragama Islam . Gejolak hati silih berganti disaat aku ingat tentang aktivitas teman-temanku yang beragama Islam. Beratnya hati ini beragama Hindu sudah sering kurasakan sejak aku duduk di bangku SD, terutama di saat aku duduk di kelas 4, 5 dan 6 SD, ketika keluargaku mengajakku untuk sembahyang di tempat ibadahku, rasanya aku malas dengan beralasan sakitlah atau banyak tugas dari sekolah atau yang lainnya. Yang penting dengan berbagai cara bagaimana aku tidak ikut untuk sembahyang ke tempat ibadah yang selama ini kuyakini. Seiring waktu berganti, disaat aku duduk di kelas 6, maka akupun pulang ke kampung halamanku, dimana kedua orangtuaku tinggal, yaitu di salah satu daerah yang agak jauh dari Kota S tersebut. Secara otomatis akupun pindah sekolah. Tidak sedikit teman-teman baruku disana yang beragama Islam, terbesit dalam hati, ingin rasanya belajar tentang Islam kepada teman-temanku di sekolah, tapi aku tidak berani dan tidak memungkinkan karena yang mana notabene keluargaku adalah beragama Hindu. Dan jika diketahui oleh Ayah dan Ibuku pasti aku akan dimarah dan dipukul nantinya. Genap sudah 5 bulan aku menetap di rumah kedua orang tuaku, Entah kenapa suatu ketika aku memberanikan diri untuk meninggalkan rumah ke kota lain tanpa sepengetahuan orangtuaku, dengan tujuan aku ingin belajar Islam di tempat lain. Padahal usiaku pada saat itu masih belia, ya… mungkin karena perasaan kebenaran Islam itu adalah fitrah yang tidak bisa dipungkiri. Cemas penuh harap nantinya setelah aku pergi akan ada yang menolongku. Hingga di perjalanan aku bertemu dengan seorang wanita kira-kira 19 tahun umurnya, ketika ia baru selesai bekerja di salah satu restoran yang ada di daerah sekitar Pelabuhan T di Kota S, ya….jika aku tidak salah Ana namanya. Saat itupun juga dia bertanya kepadaku :” Dik, siapa namamu…? , Akupun menjawab: “Kadek namaku. Dia pun bertanya kembali : “Kau ingin pergi kemana..?, Akupun menjawab : “Aku tidak tahu ingin kemana Mbak, yang penting aku ingin pergi, Aku beragama Hindu yang sejak kecil sangat tertarik dengan agama Islam. (dari raut wajahnya nampaknya dia tidak percaya akan kesungguhanku). Berterima kasih aku diperbolehkan bermalam di tempat Mbak ana bekerja, yaitu di Restoran yang tidak mungkin kusebutkan namanya. Dua hari kemudian datanglah 2 lelaki yang tidak pernah ku kenal sebelumnya, anak laki-laki yang baru beranjak remaja, ia mengaku bahwasanya mereka adalah teman dari sahabatku di daerah tempatku tinggal. Aku diajak oleh mereka ke daerah Kota T. Dengan terpaksa akupun ikut dengan mereka, yang kupikir mereka orang baik-baik saja. Sesampainya di kota T tersebut di tempat yang sepi aku tidak menyangka…!, bahwa mereka mempunyai niat busuk dalam hati mereka, yang semula ingin menolong aku, ternyata, ya….mereka ingin merenggut kehormatanku, maklum pada saat aku kelas 6 SD tubuhku sudah seperti anak SMP pada umumnya, sampai-sampai satu diantara mereka berani menamparku, ya… seingatku sebanyak 5 kali tamparan. Tidak hanya itu, merekapun mengancam akan membunuhku jika tidak mau mengikuti ajakan mereka. Dengan hati bergejolak terasa ketakutan, aku coba melindungi diri ini dengan berusaha semaksimal mungkin agar mereka tidak bisa merenggut kehormatanku. Hingga akhirnya aku lari dari mereka, berusaha untuk kembali lagi ke tempat Mbak Ana yang menolongku di wilayah Pelabuhan T, tempat dimana Mbak Ana bekerja. Tepatnya jam 12 malam dengan penuh ketakutan, aku tiba di Restoran tempat Mbak Ana bekerja. Aku lihat pagar terkunci rapat, hingga aku dengan terpaksa menaiki pagar pintu agar aku bisa masuk ke tempat Mbak Ana tinggal. Sesampainya di kos Mbak Ana, diapun terheran dan kaget ketika melihat pipiku biru dan memar-memar seraya bertanya :” Kenapa pipimu dik…? , Dengan terbata-bata aku menjawab :” Aku dipukul oleh orang yang mengajakku kemarin. Dengan perasaan haru Mbak Ana segera menenangkanku, akupun seraya berdoa dan bertutur dalam hati “Aku rela mati asalkan aku tidak kembali ke rumah orang tuaku lagi ”. Aku sangat menyesal tidak menuruti perintah Mbak Ana untuk tetap di tempat dia. Karena keesokan harinya Mbak Ana itu ingin pulang ke kampung halaman dimana orang tuanya tinggal yaitu di kota L, maka akupun ikut dengannya, menempuh 1 jam perjalanan menggunakan kapal laut, akhirnya aku sampai di kota tersebut. Rumah yang ditempatinya sangat sederhana. Kehidupan keluarganya pun sangat sederhana. Aku diterima dengan baik oleh keluarganya mbak Ana, karena mereka melihatku seolah-olah anak terlantar. Iri rasanya melihat ketika Mbak Ana sedang melakukan sembahyang , ingin juga rasanya aku diajari untuk melakukan sembahyang dan lain-lain, tetapi aku enggan karena akupun baru kenal dengannya. Hati ini senantiasa berkecamuk dalam keinginan yang hampa. Beberapa hari di rumah Mbak Ana, ditanyalah aku oleh salah seorang kerabat Mbak Ana yang sudah berumur paruh baya, dimana orang tuamu?...mau kemana kamu?.... Akhirnya dengan penuh pertimbangan laki-laki paruh baya itu, bertanya kepadaku tentang no HP orang tuaku, yang mana pada saat itu aku sudah memiliki HP. Karena permintaan laki-laki paruh baya itu kepada ayahku lewat HP agar besok juga aku dijemput olehnya. Maka keesokan harinya akupun dijemput oleh Ayahku. Sesampainya di rumah aku dimarahi, dicaci, dihardik, dipukul dan tidak diperbolehkan untuk bermain dengan teman yang beragama Islam, sepulang sekolah aku selalu di rumah, tidak diberi keluar, karena kekhawatiran orangtuaku, jangan-jangan aku kabur lagi seperti yang sudah-sudah. Tetapi aku tidak menghiraukan pembicaraan orangtuaku. Selang berlalu,,, Akhirnya aku beranjak remaja, bersekolah di Sekolah Menengah Pertama di tempatku tinggal, berjalan rutinitasku sebagai seorang pelajar seperti biasanya, walaupun hatiku bimbang menjalani dengan ketidak yakinan dalam beragama. Aku coba bertanya-tanya kepada teman-temanku yang beragama Islam tentang syarat-syarat keislaman itu seperti apa, mereka menjawab : Salah satunya harus mengucapkan 2 kalimat syahadat, maka karena besar harapanku untuk memeluk Agama Islam, aku pun mencoba mengucapkannya dengan bantuan teman-teman sekolahku yang beragama Islam, walaupun masih terbata-bata, dan masih ditanggapi main-main oleh teman-temanku, ya tentunya tanpa sepengetahuan teman-temanku yang beragama Hindu, terlebih lagi orang tuaku. Ya…walaupun masih dalam ketakutan dan tentunya belum legalitas adanya. Tepatnya di Kelas III SMP , disaat beranjak dewasa, aku sudah mulai faham jalan mana yang harus aku tempuh, aku berazam dan bertekad untuk mewujudkan impianku sejak dahulu, yaitu menjadi seorang Muslimah. Sejalan dengan rutinitasku di sekolah tanpa sepengetahuan orang tuaku aku bergaul dengan teman-temanku yang beragama Islam. Sekitar awal Oktober tahun 2012, untuk yang kedua kalinya aku nekat kabur lagi dari rumah ke kota L untuk mencari kebenaran agar tidak ada tekanan dari keluargaku, setelah aku tahu di rumah sudah tidak ada orang lagi, karena biasanya orang tuaku pada pagi hari pergi ke kebun. Dengan bantuan teman perempuanku aku diantar ke Pelabuhan tempatku tinggal untuk menyebrang ke kota tempat ku kabur di usia SD dahulu. Akhirnya sampailah aku di Pelabuhan T di kota tujuan. Seseorang laki-laki telah menungguku di Pelabuhan yang pernah mengirimkan uang untuk transportku lewat teman adiknya, laki-laki itu adalah kakak daripada temanku yang pernah bersekolah di tempat aku bersekolah. Laki-laki yang nampaknya faham akan agama Islam yang sebenarnya. Sesampainya aku di kota tersebut aku di titipkan oleh laki-laki tersebut di salah satu Pondok Pesantren, atau…..lebih tepatnya aku sebut Panti Asuhan, karena sebagian besar penghuni Panti Asuhan tersebut terdiri dari anak-anak terlantar dan orang-orang yang tidak mampu. Awalnya aku sangat bahagia disana , diajari surat-surat pendek yang terdapat dalam kitab suci ummat Islam yakni Al-Fatihah, An-Nas, Al-Falaq, Al-Ikhlas, dan al-Kafirun dan tentang agama tentunya. Akan tetati muncul kebimbangan dalam hati dan senantiasa membuat hatiku resah, mengapa sejak aku tinggal di Panti Asuhan tersebut tidak pernah dibimbing untuk melafadzkan 2 kalimat syahadat …..! Karena aku tidak menahu tentang hal itu, akupun mengikuti saja apa pelajaran yang diberikan oleh Pengelola Panti Asuhan tersebut. Selama kurang lebih 3 Minggu lamanya aku tinggal di Panti Asuhan tersebut, disamping banyak pengalaman bahagiaku karena aku sedikit demi sedikit mengenal Agama Islam pengalaman pahitpun sempat kurasakan di sana, berbagai macam ujian yang kualami, dari hilangnya barang-barangku, tertekannya hatiku karena tidak tahu arah. Baru 1 Minggu aku berada di Panti Asuhan tersebut,dan rasanya belum cukup keislamanku hanya sekedar menghafal Surat Al-Fatihah, An-Nas, Al-Falaq, Al-Ikhlas, dan Al-Kafirun, tiba-tiba…. aku ditawarkan oleh istri daripada Pengelola Panti Asuhan tersebut untuk menikah dengan salah seorang ustadz yang sudah beristri. Akupun spontan terkejut dan menjawab tidak, karena aku masih belum cukup umur untuk menjalani kehidupan bahtera Rumah Tangga, dan tentunya aku masih ingin banyak belajar tentang Islam. Tidak hanya itu, 1 Minggu kemudian melalui HP, Pengelola Panti Asuhan itupun menyarankan aku untuk menikah dengan orang yang berkecukupan, ya… lelaki yang kaya raya tandasnya.., kemudian aku memberikan pernyataan bahwa aku ingin masuk Islam bukan karena bukan ingin menikah usia dini, apalagi karena harta kekayaan . Bukan itu tujuan aku belajar Islam. Bukan hanya itu, selang 1 minggu kemudian. Tidak jeranya seorang Pengelola Panti Asuhan ini pun menyarankanku lagi untuk menikah dengan seorang yang tidak aku kenal, apalagi dia sudah beristri, yang letaknya di kota lain. Sampai-sampai ada indikasi yang sifatnya memaksa agar aku mau pergi ke daerah tersebut, dengan alasan bahwa pengelola panti Asuhan juga akan pindah kesana. Terhiris rasanya hati ini…….Berontak rasanya jiwa ini, akan tetapi itu semua di luar kemampuanku, karena pada saat itu statusku menumpang dan tidak tahu harus kemana langkah kaki ini kuayunkan. Pasrah dengan penuh harapan kebahagiaan kan datang. Sering terlintas dalam hati karena begitu resah dan takutnya aku tinggal di Panti Asuhan tersebut ingin rasanya aku pulang ke kampung halaman yaitu di tempat orangtuaku, tapi apa daya kondisiku seperti ini. Karena simpang siurnya kemana dan akan diapakan aku ini, maka ada seorang ibu paruh baya, yang biasa mengajariku mengaji, yang ada hubungan keluarga dengan Pengelola Panti Asuhan tersebut, ya…..bisa kubilang dia nenek, membawaku ke tempat salah seorang keluarganya, yang agak berjauhan dari Panti Asuhan tersebut, yang mana perasaanku mengatakan kenapa aku diperebutkan untuk dimiliki oleh beberapa orang…?. Gundah, gelisah hati ini. Nenek/ Ibu paruh baya inipun berkisah bahwa sebaiknya jika aku ingin menikah, menikahlah dengan seorang yang lajang. Karena pada saat itu yang aku ketahui ibu paruh baya inipun punya maksud dan tujuan ingin menikahkanku dengan anak laki-lakinya yang masih lajang. Tuhan….apa yang terjadi padaku…seraya bertanya-tanya dalam hati. Mulanya keluarga dari ibu paruh baya ini tidak tahu tentang masalahku yang sebenarnya. Dengan terpaksa aku bercerita sebenarnya terhadap Ibu dari beberapa anak itu, yang biasa kusebut bibi. Dari situlah bibi tersebut terharu mendengar ceritaku. Ibu paruh baya itupun yang biasa kusebut nenek dan Pengelola Panti Asuhan itu nampaknya kecewa karena aku telah diambil alih oleh bibi, karena secara tidak langsung mereka menyembunyikanku dari orang-orang yang semestinya bertanggung-jawab, yaitu aparat Desa atau dilaporkan ke Kantor Urusan Agama wilayah setempat. Hingga pada saat yang tidak lama setelah selesai aku bercerita tentang pengalaman hidupku dengan bibi itu, maka bibipun melaporkan kepada salah seorang pengajar di salah satu Pondok Pesantren dimana aku dibawa oleh ibu paruh baya itu. Akupun dinasihati dan diajarkan melafadzkan 2 kalimat syahadat untuk yang kedua kalinya, setelah 2 kalimat syahadat yang pertama aku lafadzkan saat aku SMP dahulu. Bergetar hati ini rasanya ketika 2 kalimat syahadat itu kulafadzkan. Tanpa sadar air mataku pun menetes dengan derasnya. Selang beberapa hari aku tinggal bersama bibi, Seorang pengajar pondok pesantren (atau dalam Agama Islam sering disebut ustadz….) dengan pertimbangan yang matang mencoba menghubungi orang tuaku dan pamanku lewat HP, dengan perdebatan yang sengit dan berbagai macam petentangan dan pendapat-pendapat, yang sebelumnya aku dipaksa untuk kembali lagi ke rumah orang tuaku, karena penjelasan salah seorang ustadz itu tentang kebebasan beragama itu Hak Asasi siapapun, maka dengan berat hati orang tuaku pun menyerahkan dengan seorang ustadz. Dengan pertimbangan orang tuaku, khawatir terjadi hal-hal yang tidak mereka inginkan terhadapku. Beberapa waktu kemudian Ustadz itupun menghubungi bibiku yang berada di kota tersebut melalui HP, bercerita tentang kondisi orangtuaku, haru rasanya jiwa ini, berdebar tatkala bibiku bercerita bahwa aku sedang dicari-cari keluargaku, semua tetanggaku di tempat orang tuaku ribut membicarakanku tentang informasi bahwa aku telah masuk Islam. Yang membuat ku gundah disaat bibi bertutur bahwa Ayah dan Ibuku sempat mengalami sakit yang cukup parah, susah untuk makan dan minum, sampai-sampai 2 ekor sapi ternak yang dipelihara oleh Ayahku mati karena kelaparan, yang tidak lain karena tidak diurus oleh Ayahku. Mendengar berita yang cukup mengagetkan dan meyedihkanku, tanpa berhenti terus mengalir air mataku, terbesit dalam hati, karena naluriku sebagai seorang anak ingin rasanya menjenguk kedua orang tuaku, akan tetapi…jalan yang kutempuh sudah mantab untuk sepenuhnya menyerahkan diri kepada Agama yang mulia ini, yakni agama Islam. Lirih dalam jiwaku berkata aku harus sanggup menjalani cobaan demi cobaan. Dengan bantuan seorang teman ustadz itu, akupun segera diurus dan dilaporkan ke Kantor Desa dan Kantor Urusan Agama untuk terdaftar sebagai penduduk daerah tersebut dan sebagai seorang Muallaf. Bahagia, terharu menjadi satu di saat aku membubuhi tanda tanganku di Surat Keterangan bahwa aku telah Islam, dengan disaksikan oleh Kepala Kampung, Ustadz tersebut dan temannya akupun mengucapkan 2 kalimat syahadat, dengan tertera tanda tangan mereka semua, dan diketahui oleh Kepala KUA daerah tersebut, maka resmilah aku menjadi seorang Muslimah, dan dahulu namaku Kadek sekarang aku berbahagia dan penuh bangga bernamakan AISYAH,,,,Ya…salah satu nama dari istri-istri Nabi umat Islam. Ya…tentunya Istri Nabiku juga saat ini. Dan puji syukur kupanjatkan kehadirat Allah, dengan bantuan masyarakat sekitar dan beberapa donator, akhirnya akupun disekolahkan di salah satu Pondok Pesantren untuk belajar agama lebih dalam, bagaimana mengenal Alloh, bagaimana beribadah, dan tentunya aku sangat bertekad untuk bisa membaca bahkan menghafal ayat-ayat Al-qur’an. Bahagia dan haru saat ini kurasakan, dengan bebasnya aku bisa mengaji, belajar sholat, belajar ilmu dan lain sebagainya. Tidak seperti dahulu di saat aku bersama keluargaku. Lebih membahagiakanku lagi saat aku pergi ke Pondok Pesantren itu banyak dari kalangan tetangga yang mengantarku ke sana, bahagia, haru bercampur menjadi satu. Wahai Ayah….. Wahai Ibu…. Ketahuilah bahwasanya aku sangat merindukan kalian, aku sangat menyayangi kalian, Aku berharap kepada Ayah, Ibu dan semua keluargaku untuk memeluk agama Tuhan yang sebenarnya yaitu Islam. Agama yang dapat menyelamatkan kita, baik di dunia maupun di akhirat. Agama yang diridhoi di sisi Tuhan semesta alam. Wahai Ayah….. Wahai Ibu…. Bedanya agamaku terhadap Ayah dan Ibu bukan berarti aku membenci kalian, bukan aku kurang ajar terhadap kalian, dan bukan juga berarti aku tidak menghargai kalian. Akan tetapi ini adalah bukti cintaku kepada kalian. Agar kiranya suatu saat nanti Hidayah inipun akan segera menyapa kalian. Masuk di dalam syurga bersama ketenangan dan amal-amal kita, tentunya atas dasar kasih sayang Tuhan Rabb yang suci. Wahai para Muslimah……. Disaat kalian menjual agama kalian untuk kepentingan dunia maka aku dengan taruhan nyawa sanggup untuk membelinya…. Wahai Para Muslimah……. Disaat kalian menelantarkan agama kalian, agama Islam yang mulia ini, maka aku dengan susah payah sanggup berusaha untuk menyelamatkannya Wahai Para Muslimah ….. Disaat kalian meremehkan agama kalian, dengan tidak mau melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan tidak mau meninggalkan larangan-larangan-Nya maka aku dengan berat karena tekanan dari keluarga berusaha mengagungkan dan memuliakannya…. Wahai Para Muslimah ….. Disaat kalian mengumbar dan mempertontonkan kehormatan kalian, dengan keikhlasan aku menutupnya rapat-rapat demi kehormatan dan melaksanakan perintah-Nya untuk meraih syurga-Nya.. Wahai Para Muslimah ….. Disaat kalian megenyampingkan ilmu agama kalian, dan tidak maunya mendalami untuk kebahagiaan akhirat, maka aku dengan keikhlasan merengkuhnya erat-erat dan bersimpuh mengharap keridhoaan-Nya. Wahai Para Muslimah ….. Jagalah agama kita ini dengan sungguh-sungguh……dan penuh keikhlasan… Semoga Alloh mengampuni dosa-dosaku selama ini, dan dosa-dosa kalian serta menetapkanku di dalam Agama Islam sampai hari kiamat, dan mati dalam keadaan Mukminah. Saudariku Muslimah…. Sambutlah aku dengan salam hangatmu, dengan akhlak terpujimu, sambutlah aku dengan penuh keikhlasan. Terbetik Dalam Rengkuhan Jiwa Kadek Sumbawati (‘Aisyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar